Minggu, 30 Maret 2008

NAFSU ITU BUKAN CINTA

Waktu menunjukkan pukul 02;00 pagi, tapi aku masih belum tidur. Masih di atas kasur dalam kamarku yang sumpek. Mungkin bantal sudah bosan dengan sikapku yang dari sore tadi membalik-balikkannya. Aku dihantam ribuan gelisah. Baru sekarang aku lebih bisa mngendlikan diri.
Aku menggenggam hand phone dengan penuh kebingungan. Dalam pikiranku bertarung rasa ingin menelepon dengan sms. Jika aku menelepon, nyaliku mengecil. Karena aku tak berani mengatakan sesuatu. Tapi jika aku kirim sms mungkin aku lebih berani. Tapi rasanya kurang menunjukkan bahwa aku seorang lelaki.
Kebingungan inilah yang membuatku gelisah sedari sore tadi. Aku tak pernah punya perasaan seperti ini sebelumnya. Aku diam terpaku memikirkan apa yang seharusnya aku lakukan. Sekitar lima belas menit pikiranku hilang dari kepalaku. Tiba-tiba ada suara mengagetkanku. Mengembalikan pikiranku ke kepalaku.
“Hey! Sedang apa kau ini? Kau sungguh bodoh.”
“Suara siapa itu?” Tanyaku tekaget sambil melihat ke semua sudut kamar.
“Benar-benar kau bodoh. Kau tidak tahu siapa aku?” katanya dengan nada sedikit membentak.
“Hey, kau! Jangan jadi pengecut! Tunjukkan siapa dirimu!” sentakku ta mau kalah.
“Bukankah yang pengecut itu kamu?” katanya sinis.
“Apa maksudmu?” Aku semakin tak mengerti apa yang dikatakan padaku.
“He...! He..! He...! Kau itu pengecut tak punya nyali untuk ungkapkan persaanmu pada wanita itu.: Jelasnya sambil menertawakanku.
“Hey! Kau ini siapa? Tanyaku semakin penasaran.
“Aku ini cinta. Aku ada di dirimu.” Jelasnya.
“Apa yan kau inginkan dariku? Kenapa kau mengatakan aku bodoh?”
“Aku datang untuk memohon padamu. Dan karena itulah kenapa aku anggap kau bodoh.”
“Apa maksudmu?”
“aku ingin kau mengenalkanku pada wanita itu. Dan betapa bodohnya kau hingga aku memohon padamu untuk dikenalkan padannya.”
Aku terdiam, aku semakin bingung dengan adanya dia. Tapi sebenarnya memang itulah yang aku ingin lakukan. Mengenalkan cintaku pada wanita itu.
“Lalu bagaimana caranya?” Tanyaku sedikit menuntut.
“Itu juga kenapa aku bilang kau bodoh. Kau kan sedang pegang hand phone, telepon saja dia!”
“Ini sudah pagi. Lagi pula aku takut. Yang pasti aku tidak berani mengungkapkan perasaanku langsung padanya.”
“Baiklah! Kau kan bisa kirim dia sms?”
“Apa yang harus aku tuliskan padanya?”
“Aku bukan lahir dari jari-jemari. Bukan pula datang dai mata. Bukan muncul dari mulut. Apa lagi menetas dari pikian. Tapi aku tercipta dari perasaan. Perasaan itu terletak di hati. Kau tak perlu berpikir apa yang harus kau katakan padanya. Perkataan itu akan keluar dengan sendirinya dari hatimu.”
Aku kembali terdiam. Mencoba memahami perkataan nya. Aku mulai mengerti apa yang dimaksudkannya. Lalu aku mantapkan hati untuk mencoba menuliskan perasaanku pada wanita itu melalui sms.
“Baiklah, aku akan mencoba menuliskannya.?
“Itulah yang aku harapkan. Silahkan kau meneruskan apa yang hendak kau lakukan! Aku akan pergi sejenak, nanti aku akan kembali lagi setelah kau menyelesaikannya.”
“Tunggu! Tunggu! Bagaimana aku bisa menuliskan semua perasaanku jika kau keluar dari hatiku?”
Cinta terdiam sebentar, lalu tertawa kecil. “He...! He...! iya ya? Ya sudah, aku kembali ke dalam hatimu. Tapi kau harus segera menyelesaikannya.!”
Setelah cinta masuk, aku langsung mengambil hand phoneku dan mencoba menuliskan semua perasaan yangada dalam hatiku. Tak ku sangka ternyata menngungkapkan perasaan semudah ini. Tanganku terus saja menuliskan sms dengan sendirinya tanpa didikte oleh pikiranku.
Tak ku rasa kantukku mulai memberat. Mataku semakin sayu. Tapi tanganku terus saja menuliskan kata-kata yang tanpa aku sadari sudah menghabiskan lebih dari 600 karakter. Kelopak mataku perlahan-lahan menutupi seluruh bagian mataku. Tak terasa aku tertidur.
Pukul 7;30 pagi aku dibangunkan oleh suara berisik ibu yang memang sengaja membangunkanku.
“Kamu itu kayak Singa Masai. Tidur dua puluh empat jam sehari. Ayo bangun! Kamu kan msti kuliah.”
“Uh, Ibu ini kok ngebandingin anaknya sendiri sama hewan sih? Kayak iklan toko makanan luar negeri saja?” lirihku pelan.
“Habisnya kamu itu kerjanya tidur melulu.” Jawab ibu seakan mendengar perkataanku.
“Waduh! Hand phoneku mana?” Tiba-tiba aku teringat tulisanku yangsemalam belum sempata aku baca. Aku mencari Hand phoneku ke sekeliling kamar. Sementara itu ibu keluar.
“Nah, akhirnya ketemu juga!” aku merasa lega karena Hand phoneku ketemu di bawah selimut. Lalu aku lihat pesan yang aku tuliskan semalam yang ternyata belum aku kirimkan. Aku membacanya kata demi kata. Betapa kagetnya aku setelah membaca pesan yang aku tuliskan.
Bidadariku
Aku bingung harus dari mana memulai perkataan ini.
Yang pasti perasaanku ingin memilikimu.
Keindahanmu membutakan mata hatiku.
Di mataku engkau bgai bidadari yang sedang mandi di sungai-sungai surga.
Betapa tak ingin berkedipnya mataku melihat tubuhmu tanpa sehelaipun kain menutupi tubuhmu.
Keindahan tubuhmu sungguh membuat keinginanku memilikimu.
‘Apa-apaan ini!” Bentakku keras. Entah kepada siapa aku membentak. Tapi dalam pikiranku hanya ada cinta yang semalam telah mendiktekan tanganku menuliskan sms ini.
“Cinta! Cinta! Di mana kamu?” tanyaku dengan nada membentak.
“Ada apa? Aku di sini.” Jawab cinta seperti ketakutan.
“Coba kau baca sms ini! Apa-apaan ini?”
Cinta diam sebentar. Aku semakin kesal dengan sikap dia. “ Hey! Jawab pertanyaanku!” Bentakku.
“Sungguh! Sungguh bukan aku yang memerintahkan tanganmu menuliskan itu.” Bela cinta.
“Bukankah semalam kau yang ada di dalam hatiku?”
“Iya. Semalam saat aku masuk ke dalam hatimu di sana sudah ada nafsu. Aku berusaha terus masuk. Tapi dia terus melawanku. Aku tak sanggup melawannya. Karena dia lebih besar dari aku. Sungguh aku tak bisa melawannya.”
“Tapi aku takl sedikitpun merasa memiliki nafsu. Apa lagi untuk aku berikan pada wanita itu. Yang ingin aku berikan itu kamu.”
“Aku tahu. Tapi dia lebih menguasai hatimu.”
“Bukankah dia ada karena memang berasal darimu? Kenapa kau tak bisa lebih menguasai dia?”
“Kau jangan berperasangka begitu! Aku tak akan pernah menyatu dengan nafsu dan nafsu bukan berasal dari aku. Nafsu ada bukan karena aku. Jadi aku tak bisa menguasai dia. Hatimu sendirilah yang seharusnya menguasai dia. Hatimu yang harus memilih siapa yang lebih luas ditempatkan di dalamnya. Ingat! Hatimu adalah tempat perasaan. Jika tempat itu di kusai nafsu berarti perasaanmu kepada dia tak lain adalah nafsu.”
Aku hanya bisa terdiam. Entah mengapa aku bisa menuliskannya seperti itu. Mungkin benarapa yangdikatakan cinta. Aku menjadi benci kepada diriku sendiri yang belum bisa menguasai nafsu. Seharusnya aku lebih bisa membesarkan rasa cinta, bukan nafsu.
Dengan rasa benci aku menghapus sms itu. Aku merasa harus menguasai nafsuku sebelum mengenalkan cinta pada wanita manapun.





Gunungputri, 27 Maret 2008
00;30

Baca Sesungguhnya Puisi Ini...

Senin, 24 Maret 2008

IMAN

Alarm jam waker berbunyi tepat di atas kepala iman yang sedang tidur. Dia bangun dan mematikan suara alarm jam waker itu. Suasana kamar masih gelap karena lampu kamar belum dinyalakan. Iman pergi ke luar rumah menuju kamar mandi yang terpisah dari rumahnya, lalu mengambil wudhu.

Suasana gelap sepi belum ada suara bising. Hanya ada suara jangkrik yang mengerik dan sesekali ada suara kendaraan melintas di jalan raya depan rumahnya. Dingin angin malam pun menembus dinding kamarnya yang hanya terbuat dari bbilik bambu. Ditambah lantai kamar dari karpet plastik pelapis tanah yang semakin menusukkan rasa dingin angin malam.

Iman menebarkan sajadah lalu bersiap untuk shalat. Sementara jam menunjukkan pukul 02;15. waktu di mana orang-orang sedang terlelap dalam tidurnya, iman selalu menyempatkan shalat Tahajud.

“Sudah jam tiga kurang seperempat. Baiknya aku tidur dulu.” Ucap iman setelah selesai shalat dan berdoa.

Ia kembali membringkan diri ke atas tempat tidur yang hanya terbuat dai bambu dilapis kasur tipis. Karena kapuk di dalam kasur itu keluar lewat kain kasur yang bolong. Lalu dia ambil jam wakernya mengatur jarum alarm tepat pukul 04;30. setelah meletakan jam tersebut ia langsung tidur.

Alarm jam waker kembali berbunyi iman langsung bangun dan kembali mengambil wudhu untuk shalat subuh. Setelah itu dia langsung mandi dan bersiap untuk berangkat.

Suasana sudah mulai ramai. Ibu khodijah yang tak lain adalah ibu angkat iman sudah menyiapkan sarapan. Mereka hanya berdua di dalam rumah sederhana itu. Jadi ibu khodijah hanya menyiapkan sarapan seadanya.

“Aku berangkat dulu, Bu. Assalamualaikum!” Ucap iman berpamitan setelah bsarapan dan sambil mencium tangan bu khodijah.

“Waalaikum salam! Hati hati ya, Man!” Jawab ibu khodijah sambil merapikan meja makan.

“Iya, Bu.” Sambut iman sambil menjalankan sepedanya.

***

“Assalamualaikum!” Sahut iman pada pak warso sambil menyandarkan sepedanya di bawah pohon depan toko pak warso.

“Alaikumsalam! Wah kalau saja semua pengantar sepertimu, aku oasti sangat terbantu.” Ucap pak warso memuji iman karena datang lebih pagi dari yang lain.

“Ah Bapak bisa saja!” Ucap malik malu-malu.

“Aku bangga padamu, Nak. Sekarang kamu masuk sekolah jam berapa?”

“Seperti biasa, Pak. Jam 01;15.”

“Oh, kalau begitu cepat kamu ambil koran bagian kamu dan ini ongkos buat kamu.” Kata pak warso sembari memberikan selembar uang sepuluh ribuan.

“iya, Pak. Terima kasih!” lalu membawa sekumpulan koran yang masih hangat. Mungkin baru keluar dari percetakan.

Sepanjang jalan menuju sekolah, iman memberikan koran-koran tersebut ke rumah-rumah pelanggan pak warso di komplek perumahan Duta Pertiwi. Kurang lebih 60 ekseplar dia bagikan ke 56 rumah di kompleks tersebut. Ada sebagian rumah yang memesan dua koran harian berbeda. Hampir setiap hari ia lalukan pekerjaan ini sambil berangkat sekolah dengan sepedanya.

Setelah mengantarkan koran-koran tersebut, iman melanjutkan perjalanan ke sekolah. Jarak dari komplek tersebut ke sekolah iman cukup jauh. Iman harus melewati jalan raya yang sudah disibukkan dengan lalu-lalang kendaraan yang saling mendahului. Mungkin karena mereka sama-sama ingin cepatsampai ke tempat kerja atau sekolah.

“Duar...!” Tiba-tiba suara ledakan lalu terdengar kembali suara hantaman benda keras yang membuat semua orang di sekeliling jalan terkaget. Semua orang berteriak dan berlari ke arah suara tersebut.

“Astagfirullah Aladzim!” ucap seseorang terkaget melihat ke arah suara tadi.

“Ada apa ini, Pak?” Tanya seseorang kepada orang yang mungkin melihat kejadiannya.

“Entahlah. Tadi terdengar suara ledakanseperti suara ledakan ban mobil pecah. Lalu saya dengar kembali suara tabrakan kendaraan.” Jawabnya.

Di lihatnya asal kejadian itu. Tergeletak sepeda yang rusak. Mungkin karenatertabrak. Tak kurang 50 meter dari sepeda, terparkir mobil sedan dengan kap depan yang rusak. Di dalamnya sang sopir dengan berpakaian kemeja dan dasi warna merah tak sadarkan diri dengan kepala tertunduk di atas setir mobil.

Di depan mobil tersebut tergeletak anak laki-laki berseragam putih-abu penuh darah tak bergerak. Dari teling, mulut dan hidungnya keluar darah menodai seragam putihnya.

“Iman...?” terdengar teriakan keras anak perempuan berseragam SMA turun dari angkutan umum berlari menuju anak laki-laki yang tergeletak tak berdaya tersebut. Dia berdiri di depan anak tersebut, menangis tanpa henti dan terus menyebut nama iman. Tak ada yang meredakan tangisan anak perempuan itu atau menyentuh anak laki-laki yang tergeletak itu. Semuanya hanya tertunduk diam dan tak melalukan apa-apa.

Gunungputri, Bogor

20.03.2008

23.32

Baca Sesungguhnya Puisi Ini...

Jumat, 21 Maret 2008

Cinta Dinding warna

“Akupun mencintaimu, Sam. Sampai kapanpun.” Itulah yang ku dengar terakhir menandakan kita harus berpisah pulang, rabu sore bulan kemarin. Dengan lambaian tangan kita berpisah. Dan aku harus mempersiapkan diri untuk lama mananti bertemu denganmu lagi.
Sementara di luar sana sudah banyak orang berpakaian seragam membanjiri sudut kota menyuarakan nama-nama organisasi massa. Keadaan seperti ini semakin membuat kita sulit untuk bertemu. “Ah, aku harus bagai mana?”
Aku sandarkan badanku ke dinding kamar, mencoba berpikir mencari jalan untuk kita bertemu. Aku melamun memikirnya.
“Tok..tok...tok..!”
“Sam! Samsul! Samsul!” Tiba-tiba suara ayah memanggilku sambil mengetuk pintu.
“Ada apa, Yah?” Aku menjawab panggilan ayah sambil berjalan menuju pintu
“Kamu sedang apa? Kenapa di kamar? Lihat di depan banyak tamu, bukannya bantu kang amir!”
“Aku lemas, Yah.”
“Kamu bukan lemas, tapi malas. Cepat bantu kang amir!”
Dengan lemas aku terpaksa berjalan keluar, berharap sudah tidak ada tamu lagi. Tapi keadaan ternyata sebaliknya, masih banyak tamu yang sedang antri untuk mendapatkan kaos.
“Nak Samsul kok baru keluar?” Tanya kang amir dengan wajah sedikit lega, karena akan dibantu olehku.
“Iya nih, Kang. Saya sedang tidak enak badan. Sepertinya terlalu lelah karena pembagian kaos kemarin.”
“Terlalu lelah karena kemarin apa karena memikirkan ratna?”
“Ah, Kang Amir ini bisa saja. Masa memikirkan ratna saja sampai lelah?”
“Kan pak sultan yang membuatmu memikirkan ratna sampai lelah.”
“Kang Amir benar-benar bisa, ya?”
“Saya tahu ayahmu memang fanatik. Sampai-sampai beliau membawa urusan pribadinya padamu.”
“Sudahlah. Kang! Itu masih banyak yang belum kebagian kaos.”
Lalu aku membantu kang amir meneruskan pembagian kaos pada tamu-tamu yang datang. Sementara ayah sedang berkumpul dan berbincang-bincang dengan tamu lain. Suasana di rumah seperti di pasar, karena banyak sekali orang.
* * *
Kamis siang saat aku bersandar santai di teras belakang, aku dikejutkan maria. Tetanggaku yang kuliah di kampus sama dengan ratna.
“Samsul, bangu! Samsul, ayo bangun!”
Aku menjawab dengan terkaget: “Ada apa, Mar?”
“Aku punya sesuatu untukmu.” Maria memberiku sebuah penasaran.
“Apa, Mar?” Jawabku, penasaran.
“Sesuatu dari ratna.” Maria terus membuatku menjadi semakin penasaran.
“Mana, Mar. Cepat, aku lihat!”
“Memang kamu tahu apa yang ratna titipkan?” Tanya maria seperti sengaja membuatku semakin penasaran.
“Cepat aku liahat!” Aku tak mau kalah, karena aku semakin tak sabar ingin mengetahui pa yang ratna sampaikan untukku.
Akhirnya maria mengalah, dan memberikan sesuatu padaku sambil menggumam: “Duh, dasar! Ini ambil! Cuma surat saja juga.”
“Surat?” Tanyaku terheran.
“Iya, cuma surat.”
“Tidak biasanya dia mengirim surat padaku?”
“Aku tidak tahu, yang pasti dia hanya memberikan surat itu padaku. Oh iya, dia juga bilang, kamu jangan terlalu memikirkan dia.”
“Loh, kok gitu, Mar?” Tanyaku pada maria karena terheran dan kebingungan.
“Aku juga tidak tahu, Sam. Coba kamu baca saja suratnya! Mungkin dia menjelaskannya di situ. Ya sudah, aku pulang dulu ya.” Ungkap maria sambil berpamitan.
“Baiklah, Mar. Sebelumnya aku terimakasih banyak padamu. Kamu memang temanku yang baik. Tidak sia-sia aku punya teman sepertimu.”
“Huh, dasar!” jawab maria dengan nada kesal.
Setelah maria pulang aku membuka amplop yang dia berikan. Ada selembar surat dengan tulisan ratna yang memang ditujukan untukku. Dengan hati yang penuh penasaran, aku membaca surat itu.
Untuk Samsul:
Sam, aku tak tahu harus bagai mana. Aku harap kau bisa mengerti aku. Aku tahu di dalam hatimu ada jeritan memanggil namaku. Kamu tahu, Sam? Jeritan itu terdengar sampai lubuk hatiku. Aku tahu rindu yang teramat dalam itu terus menusuk hatimu. Begitu pula hatiku, hatiku teraniaya oleh tumpukkan-tumpukkan rindu padamu, Sam.
Tapi ayah terus saja mengurangi kebebasanku. Sehingga aku tak bisa berbuat apa-apa untuk bisa meluangkan waktu bertemu denganmu. Sekarang kita aku semakin tak bisa berbuat apa-apa. Karena orang-orang suruhan ayahku terus mengikutiku. Ayah takut kita bisa saling bertemu. Begitu tidak setujunya ayah kepada hubungan kita.
Sam, dua munggu lagi mungkin kita sedikit lebih bebas. Setelah kita bisa tahu hasil pemilu tahun ini. Mungkin setelah itu ayah tidak terlalu mengurusi aku, karena dia pasti disibukkan oleh urusan-urusan partainya. Karena itu aku harap kau jangan terlalu memikirkan aku. Tahanlah sebentar saja. Setidaknya sampai selesai pemilu nanti. Karena aku tak mau kau terbebani oleh hal ini.
Dua hari setelah pemilu nanti ku ingin mengobati riduku. Aku ingin bertemu denganmu di tempat biasa kita bertemu. Ku harap kau bisa datang membawa penawar rindu untukku.
Terima kasih, Sam! Aku akan terus mencintaimu.
Ratna
Aku terpaku membaca surat itu. Aku menjadi terhanyut dalam kenangan saat kita bersama. Setidaknya rasa rinduku sedikit terlepaskan. Namun itupun membuatku semakin sakit menahan rindu yang datang lagi dengan prajurit-prajuritnya.
“Nak Samsul? Nak Samsul?” Terdengar suara kang amir tiba-tiba mengagetkanku, merusak hayalanku.
“Ada apa, Kang? Aku di sini.” Jawabku seraya memberi tahukan keberadaanku.
“Loh, dicari kemana-mana tahunya ada di belakang. Bisa antar saya mengambil kaos ke rumah pak rian tidak?”
“Memang kaos yang kemarin sudah habis?”
“Belum, tapi hari sabtu kan kita menghadiri kampanye di kota. Takut-takut yang ikut lebih banyak. Kebetulan kita kehabisan bendera, sekalian kita ambil bendera.”
“Baiklah, Kang. Tapi saya ganti baju dulu ya.”
“Ya sudah, bergegas ya! Takut kesorean, nanti pak rian sudah tidak ada di rumah.”
Lalu kami pergi menuju rumah pak rian membawa mobil ayah. Jaraknya cukup jauh. Menempuh waktu kurang lebih 45 menit. Jarak waktu yang cukup membosankan. Namun aku seperti terbawa suasana membaca suat tadi. Aku terbawa ceria, hingga aku semangat untuk menempuh jarak jarak sejauh itu.
Kang amir pun merasa heran dengan tingkahku yang senyum-senyum sendiri. “Ada apa Nak Samsul? Sepertinya bahagia sekali.” Tanya kang amir terheran.
Aku pun menjawab dengan senyuman: “Iya, Kang. Saya sedang bahagia”
“Wah, pasti habis ketemu ratna ya?”
“Tidak, Kang. Kan saya dari tadi di rumah saja.”
“Loh, terus kenapa atuh? Kok saya perhatikan Nak Samsul dari tadi senyum-senyum saja? Jangan-jangan Nak Samsul sudah ada kelainan nih? Hehe!” Tanya kang amir kembali dengan nada bercanda.
“Kang Amir ada-ada saja. Saya tadi dapat surat dari ratna, Kang.”
“Pantas saja Nak Samsul dari tadi kelihatan ceria, pasti Nak Samsul senang sekali.
“Pasti lah Kang. Saya kan sudah satu bulan tidak bertemu ratna. Setidaknya surat itu bisa sedikit meredakan gundah hati saya.”
“Lalu apa isi surat itu?” tanya kang amir mencoba membuatku untuk menceritakan surat yang ratna berikan.
“Intinya dia meminta saya untuk tidak terlalu memikirkan dia sampai usai pemilu nanti.” Jawbku menceritakan isi surat itu.
“Benar apa kata ratna. Setidaknya Nak Samsul harus bisa menahan rasa rindu pada dia sampai pemilu nanti. Mungkin setelah itu ayahmu dan ayahnya sudah bisa menerima hubungan kalian.”
“Ah, sepertinya tidak mungkin, Kang. Kang Amir tahu sendiri, ayah seorang yang fanatik. Beliau tdak pernah setuju dengan orang yang tidak satu pilihan dengannya. Begitu pula pak wira. Ayah dan pak wira kan sama-sama fanatik partai.”
“Ya, siapa tahu setelah hasil pemilu nanti mereka bisa saling mengerti satu sama lain dan menyetujui hubungan kalian.”
“Mudah-mudahan saja, Kang. Saya harap juga begitu.”
Tak terasa kami sampai ke rumah pak rian. Setelah kami merapikan kaos ke dalam mobil, dan mencatat senua data yang diperlukan, kami pun langsung pulang.
* * *
Sabtu pagi di rumahku sudah berkupul ratusan orang berpakaian seragam kuning. Lima bus dan puluhan sepeda motor terparkir di halaman rumahku sampai jalan raya. Mereka ada yang membawa bendera berwarna sama dengan kaos yang mereka pakai. Ada juga yang membawa spanduk dengan berbagai macam dukungan terhadap suatu partai. Bersiap untuk berangkat ke kota menghadiri kampanye partai yang mereka dukung.
Sementara aku masih di dalam kamar. Aku merasa malas untuk ikut berkonfoi ke kota mengikuti kampanye partai dukungan ayahku. Aku rasa semua hanya membuat waktuku terbuang sia-sia. Tapi aku mempunyai ayah yang keras, dan beliau seorang kader sebuah partai. Setidaknya aku harus ikut mendukung ayahku.
“Sam, ayo cepat bersiap! Kita sebentar lagi berangkat.” Ujar ayah meminta aku cepat bersiap.
“Tidak, Yah, aku di rumah saja. Kan semuanya ikut, nanti siapa yang menjaa rumah, lebih baik aku di rumah saja.” Jawabku mengelak.
“Kenapa kau ini? Kempanye ini kan dihadiri ketua umum partai kita. Apa nanti kata orang, anakku sendiri saja susah dajak ikut kampanye?”
“Tapi, Yah. Sebelumnya kan aku sering ikut.”
“Sudahlah terserah kamu saja! Kamu memang susah diatur.”
Ayah langsung pergi meninggalkan kamarku dengan wajah kesal. Aku pun hanya diam tertunduk.
Tak lama rombongan ayahku berangkat. Aku di rumah sendiri merapikan gelas-gelas dan piring sisa suguhan untuk tamu tadi. Setelah merapikan semuanya, aku kembali ke kamar. Ya, aku kembali menghayalkan ratna sambil ku baca kembali surat darinya. Aku semakin terhanyut kedalam hayalan.
Tersirat di benakku saat kita terakhir bertemu di pantai belakang bukit tempat biasa kita bertemu dan berpisah. Saat-saat seperti itu merayu aku untuk pergi ke sana. Satu kesempatan bagiku, ayah dan yang lain sedang pergi kampanye, aku bisa pergi keluar rumah.
Jam empat sore ayah belum pulang. Mungkin nanti malam baru pulang. Akupun memutuskan untuk pergi ke luar rumah. Aku ingin pergi ke pantai untuk menenangkan diri dan mengenang saat bertemu ratna.
Aku duduk di atas bebatuan pantai sambil memandangi laut dan menikmati angin yang menyapu-nyapu tubuhku. Lama aku menikmati keindahan dan kenangan ini. Tiba-tiba aku mendengar suara yang mengejutkanku dari belakang. “Aku tahu kamu pasti d sini.” Suara yang sudah tidak asing ku dengar dan selalu ku nanti. Aku membalikkan badan, ingin mengetahui asal suara itu. Ternyata benar suara itu berasal dari orang yang sangat ku kenal.
“Ratna?!” ujarku dengan nada tersendat, karena masih belum percaya melihatnya. Ku datangi, kudekati dia, dan ku peluk dia. Dengan perasaan yang sulit diungkapkan aku bertanya: “Kenapa kau ke sini?”
“Aku tahu kau pasti di sini.” Jawab ratna pelan karena terharu.
“Dari mana kau tahu? Sedagkan aku tidak memberitahumu”
“Aku mendengar jeritan hati merindukan aku. Aku mengikuti suara itu dan ternyata berhenti di sini.”
Aku tak bisa berkata apa-apa, aku terharu dan hanya bisa mengatakan: “Aku mencintaimu Ratna.”
Lalu ku ajak atna duduk di atas bebatuan pantai. Kami duduk berdampingan dan memandang langit yang semakin menuning. Tiupan angin terusmenghibur kami bagai musik penuh kenangan.
“Sam, aku tersiksa sikap ayah dan hatiku sendiri. Ayah terus menyiksaku dengan makian-makian serta tudingan buruk terhadapmu. Sedangkan hatiku terus menyiksa dengan tusukan-tusukan rindu padamu. Kau tahu, ayah sangat tidak setuju dengan hubungan kita hanya karena persoalan kecil. Karena keluarrgamu tidak satu pilihan dengan ayahku pada pemilu tahun ini.”
“Sudah lah, Rat! Jangan memikirkan masalah itu! Yang penting aku dan kamu saling mencintai. Kau kan pernah bilang akan mencintaiku sampai kapanpun.”
“Tapi, Sam. Aku inin kita tidak seperti ini lagi. Kita tak harus bersembunyi lagi jika ingin bertemu. Bagai mana caranya, Sam?”
“Meski aku tidak tahu kita harus bagai mana untuk bsa seperti itu. Tapi aku harap kita bisa menjalani hubunan ini dengan penuh kebahagiaan. Kita jalani saja hubungan kita seperti ini, asalkan kita bisa terus bahagia.”
“Sampai kapan, Sam?”
“Sampai kedua orang tua kita bisa saling mengerti dan merestui hubungan kita. Suatu saat nanti itu pasti terjadi.”
“Aku percaya padamu, Sam. Mudah-mudahan mereka bisa saling mengerti dan merestui hubungan kita.” Ucap ratna, lalu ia sandarkan kepalanya ke pundakku.
Hari pun semakin redup, langit semakin menguning menghiasi matahari yan mulai terbenam. Tapi kami masih di sini, enggan beranjak. Seakan tak ingin melepaskan hari ini.
“Ratna, sedang apa kau di sini?!”
Terdengar suara membentak dari arah belakang. Ratna menengok kebelakang. Betapa kagetnya ratna, ternyata suara itu suara ayahnya. Pak wira datang bersama anak buahnya. Karena ketakutan, ratna bergeser menjauhi aku.
“Sam, ayahku datang.” Ucap ratna ketakutan.
“Tenang, Rat! Aku di sampingmu.” Aku mencoba menenangkan ratna.
Pak wira lalu mendekati ratna dan menarik tangan ratna keras sambil membentak: “Cepat pulang! Kamu membuat malu keluarga saja.” Aku memegang tangan ratna erat, mencoba menahannya. Tapi pak wira menepis tanganku. Aku tidak melepaskannya walau pak wira terus menepis tanganku. Akhirnya dia melontarkan ancaman padaku: “Hey Samsul, kamu jangan pernah mendekati anakku, anakku tak pantas berhubungan denganmu.”
Lalu anak buah pak wira memegangiku, melepaskan tanganku dari ratna. Ratnapun terlepas dari genggamanku. Aku ditarik oleh mereka. Tiba-tiba ada kepalan-kepalan tangan menghantam wajahku, terus berulang hinggan terakhir yan kurasa ada hantaman benda keras seperti batu mengenai kepalaku. Saat itu aku langsung tak sadarkan diri aku hanya mendengar suara tanisan ratna memanggil namaku.sampai suara itu pun hilang bersama kesadaranku.
“Sam...!”
“Samsul...!”
“Samsul...!”
“Samsul...!”
“........”

Baca Sesungguhnya Puisi Ini...