Jumat, 21 Maret 2008

Cinta Dinding warna

“Akupun mencintaimu, Sam. Sampai kapanpun.” Itulah yang ku dengar terakhir menandakan kita harus berpisah pulang, rabu sore bulan kemarin. Dengan lambaian tangan kita berpisah. Dan aku harus mempersiapkan diri untuk lama mananti bertemu denganmu lagi.
Sementara di luar sana sudah banyak orang berpakaian seragam membanjiri sudut kota menyuarakan nama-nama organisasi massa. Keadaan seperti ini semakin membuat kita sulit untuk bertemu. “Ah, aku harus bagai mana?”
Aku sandarkan badanku ke dinding kamar, mencoba berpikir mencari jalan untuk kita bertemu. Aku melamun memikirnya.
“Tok..tok...tok..!”
“Sam! Samsul! Samsul!” Tiba-tiba suara ayah memanggilku sambil mengetuk pintu.
“Ada apa, Yah?” Aku menjawab panggilan ayah sambil berjalan menuju pintu
“Kamu sedang apa? Kenapa di kamar? Lihat di depan banyak tamu, bukannya bantu kang amir!”
“Aku lemas, Yah.”
“Kamu bukan lemas, tapi malas. Cepat bantu kang amir!”
Dengan lemas aku terpaksa berjalan keluar, berharap sudah tidak ada tamu lagi. Tapi keadaan ternyata sebaliknya, masih banyak tamu yang sedang antri untuk mendapatkan kaos.
“Nak Samsul kok baru keluar?” Tanya kang amir dengan wajah sedikit lega, karena akan dibantu olehku.
“Iya nih, Kang. Saya sedang tidak enak badan. Sepertinya terlalu lelah karena pembagian kaos kemarin.”
“Terlalu lelah karena kemarin apa karena memikirkan ratna?”
“Ah, Kang Amir ini bisa saja. Masa memikirkan ratna saja sampai lelah?”
“Kan pak sultan yang membuatmu memikirkan ratna sampai lelah.”
“Kang Amir benar-benar bisa, ya?”
“Saya tahu ayahmu memang fanatik. Sampai-sampai beliau membawa urusan pribadinya padamu.”
“Sudahlah. Kang! Itu masih banyak yang belum kebagian kaos.”
Lalu aku membantu kang amir meneruskan pembagian kaos pada tamu-tamu yang datang. Sementara ayah sedang berkumpul dan berbincang-bincang dengan tamu lain. Suasana di rumah seperti di pasar, karena banyak sekali orang.
* * *
Kamis siang saat aku bersandar santai di teras belakang, aku dikejutkan maria. Tetanggaku yang kuliah di kampus sama dengan ratna.
“Samsul, bangu! Samsul, ayo bangun!”
Aku menjawab dengan terkaget: “Ada apa, Mar?”
“Aku punya sesuatu untukmu.” Maria memberiku sebuah penasaran.
“Apa, Mar?” Jawabku, penasaran.
“Sesuatu dari ratna.” Maria terus membuatku menjadi semakin penasaran.
“Mana, Mar. Cepat, aku lihat!”
“Memang kamu tahu apa yang ratna titipkan?” Tanya maria seperti sengaja membuatku semakin penasaran.
“Cepat aku liahat!” Aku tak mau kalah, karena aku semakin tak sabar ingin mengetahui pa yang ratna sampaikan untukku.
Akhirnya maria mengalah, dan memberikan sesuatu padaku sambil menggumam: “Duh, dasar! Ini ambil! Cuma surat saja juga.”
“Surat?” Tanyaku terheran.
“Iya, cuma surat.”
“Tidak biasanya dia mengirim surat padaku?”
“Aku tidak tahu, yang pasti dia hanya memberikan surat itu padaku. Oh iya, dia juga bilang, kamu jangan terlalu memikirkan dia.”
“Loh, kok gitu, Mar?” Tanyaku pada maria karena terheran dan kebingungan.
“Aku juga tidak tahu, Sam. Coba kamu baca saja suratnya! Mungkin dia menjelaskannya di situ. Ya sudah, aku pulang dulu ya.” Ungkap maria sambil berpamitan.
“Baiklah, Mar. Sebelumnya aku terimakasih banyak padamu. Kamu memang temanku yang baik. Tidak sia-sia aku punya teman sepertimu.”
“Huh, dasar!” jawab maria dengan nada kesal.
Setelah maria pulang aku membuka amplop yang dia berikan. Ada selembar surat dengan tulisan ratna yang memang ditujukan untukku. Dengan hati yang penuh penasaran, aku membaca surat itu.
Untuk Samsul:
Sam, aku tak tahu harus bagai mana. Aku harap kau bisa mengerti aku. Aku tahu di dalam hatimu ada jeritan memanggil namaku. Kamu tahu, Sam? Jeritan itu terdengar sampai lubuk hatiku. Aku tahu rindu yang teramat dalam itu terus menusuk hatimu. Begitu pula hatiku, hatiku teraniaya oleh tumpukkan-tumpukkan rindu padamu, Sam.
Tapi ayah terus saja mengurangi kebebasanku. Sehingga aku tak bisa berbuat apa-apa untuk bisa meluangkan waktu bertemu denganmu. Sekarang kita aku semakin tak bisa berbuat apa-apa. Karena orang-orang suruhan ayahku terus mengikutiku. Ayah takut kita bisa saling bertemu. Begitu tidak setujunya ayah kepada hubungan kita.
Sam, dua munggu lagi mungkin kita sedikit lebih bebas. Setelah kita bisa tahu hasil pemilu tahun ini. Mungkin setelah itu ayah tidak terlalu mengurusi aku, karena dia pasti disibukkan oleh urusan-urusan partainya. Karena itu aku harap kau jangan terlalu memikirkan aku. Tahanlah sebentar saja. Setidaknya sampai selesai pemilu nanti. Karena aku tak mau kau terbebani oleh hal ini.
Dua hari setelah pemilu nanti ku ingin mengobati riduku. Aku ingin bertemu denganmu di tempat biasa kita bertemu. Ku harap kau bisa datang membawa penawar rindu untukku.
Terima kasih, Sam! Aku akan terus mencintaimu.
Ratna
Aku terpaku membaca surat itu. Aku menjadi terhanyut dalam kenangan saat kita bersama. Setidaknya rasa rinduku sedikit terlepaskan. Namun itupun membuatku semakin sakit menahan rindu yang datang lagi dengan prajurit-prajuritnya.
“Nak Samsul? Nak Samsul?” Terdengar suara kang amir tiba-tiba mengagetkanku, merusak hayalanku.
“Ada apa, Kang? Aku di sini.” Jawabku seraya memberi tahukan keberadaanku.
“Loh, dicari kemana-mana tahunya ada di belakang. Bisa antar saya mengambil kaos ke rumah pak rian tidak?”
“Memang kaos yang kemarin sudah habis?”
“Belum, tapi hari sabtu kan kita menghadiri kampanye di kota. Takut-takut yang ikut lebih banyak. Kebetulan kita kehabisan bendera, sekalian kita ambil bendera.”
“Baiklah, Kang. Tapi saya ganti baju dulu ya.”
“Ya sudah, bergegas ya! Takut kesorean, nanti pak rian sudah tidak ada di rumah.”
Lalu kami pergi menuju rumah pak rian membawa mobil ayah. Jaraknya cukup jauh. Menempuh waktu kurang lebih 45 menit. Jarak waktu yang cukup membosankan. Namun aku seperti terbawa suasana membaca suat tadi. Aku terbawa ceria, hingga aku semangat untuk menempuh jarak jarak sejauh itu.
Kang amir pun merasa heran dengan tingkahku yang senyum-senyum sendiri. “Ada apa Nak Samsul? Sepertinya bahagia sekali.” Tanya kang amir terheran.
Aku pun menjawab dengan senyuman: “Iya, Kang. Saya sedang bahagia”
“Wah, pasti habis ketemu ratna ya?”
“Tidak, Kang. Kan saya dari tadi di rumah saja.”
“Loh, terus kenapa atuh? Kok saya perhatikan Nak Samsul dari tadi senyum-senyum saja? Jangan-jangan Nak Samsul sudah ada kelainan nih? Hehe!” Tanya kang amir kembali dengan nada bercanda.
“Kang Amir ada-ada saja. Saya tadi dapat surat dari ratna, Kang.”
“Pantas saja Nak Samsul dari tadi kelihatan ceria, pasti Nak Samsul senang sekali.
“Pasti lah Kang. Saya kan sudah satu bulan tidak bertemu ratna. Setidaknya surat itu bisa sedikit meredakan gundah hati saya.”
“Lalu apa isi surat itu?” tanya kang amir mencoba membuatku untuk menceritakan surat yang ratna berikan.
“Intinya dia meminta saya untuk tidak terlalu memikirkan dia sampai usai pemilu nanti.” Jawbku menceritakan isi surat itu.
“Benar apa kata ratna. Setidaknya Nak Samsul harus bisa menahan rasa rindu pada dia sampai pemilu nanti. Mungkin setelah itu ayahmu dan ayahnya sudah bisa menerima hubungan kalian.”
“Ah, sepertinya tidak mungkin, Kang. Kang Amir tahu sendiri, ayah seorang yang fanatik. Beliau tdak pernah setuju dengan orang yang tidak satu pilihan dengannya. Begitu pula pak wira. Ayah dan pak wira kan sama-sama fanatik partai.”
“Ya, siapa tahu setelah hasil pemilu nanti mereka bisa saling mengerti satu sama lain dan menyetujui hubungan kalian.”
“Mudah-mudahan saja, Kang. Saya harap juga begitu.”
Tak terasa kami sampai ke rumah pak rian. Setelah kami merapikan kaos ke dalam mobil, dan mencatat senua data yang diperlukan, kami pun langsung pulang.
* * *
Sabtu pagi di rumahku sudah berkupul ratusan orang berpakaian seragam kuning. Lima bus dan puluhan sepeda motor terparkir di halaman rumahku sampai jalan raya. Mereka ada yang membawa bendera berwarna sama dengan kaos yang mereka pakai. Ada juga yang membawa spanduk dengan berbagai macam dukungan terhadap suatu partai. Bersiap untuk berangkat ke kota menghadiri kampanye partai yang mereka dukung.
Sementara aku masih di dalam kamar. Aku merasa malas untuk ikut berkonfoi ke kota mengikuti kampanye partai dukungan ayahku. Aku rasa semua hanya membuat waktuku terbuang sia-sia. Tapi aku mempunyai ayah yang keras, dan beliau seorang kader sebuah partai. Setidaknya aku harus ikut mendukung ayahku.
“Sam, ayo cepat bersiap! Kita sebentar lagi berangkat.” Ujar ayah meminta aku cepat bersiap.
“Tidak, Yah, aku di rumah saja. Kan semuanya ikut, nanti siapa yang menjaa rumah, lebih baik aku di rumah saja.” Jawabku mengelak.
“Kenapa kau ini? Kempanye ini kan dihadiri ketua umum partai kita. Apa nanti kata orang, anakku sendiri saja susah dajak ikut kampanye?”
“Tapi, Yah. Sebelumnya kan aku sering ikut.”
“Sudahlah terserah kamu saja! Kamu memang susah diatur.”
Ayah langsung pergi meninggalkan kamarku dengan wajah kesal. Aku pun hanya diam tertunduk.
Tak lama rombongan ayahku berangkat. Aku di rumah sendiri merapikan gelas-gelas dan piring sisa suguhan untuk tamu tadi. Setelah merapikan semuanya, aku kembali ke kamar. Ya, aku kembali menghayalkan ratna sambil ku baca kembali surat darinya. Aku semakin terhanyut kedalam hayalan.
Tersirat di benakku saat kita terakhir bertemu di pantai belakang bukit tempat biasa kita bertemu dan berpisah. Saat-saat seperti itu merayu aku untuk pergi ke sana. Satu kesempatan bagiku, ayah dan yang lain sedang pergi kampanye, aku bisa pergi keluar rumah.
Jam empat sore ayah belum pulang. Mungkin nanti malam baru pulang. Akupun memutuskan untuk pergi ke luar rumah. Aku ingin pergi ke pantai untuk menenangkan diri dan mengenang saat bertemu ratna.
Aku duduk di atas bebatuan pantai sambil memandangi laut dan menikmati angin yang menyapu-nyapu tubuhku. Lama aku menikmati keindahan dan kenangan ini. Tiba-tiba aku mendengar suara yang mengejutkanku dari belakang. “Aku tahu kamu pasti d sini.” Suara yang sudah tidak asing ku dengar dan selalu ku nanti. Aku membalikkan badan, ingin mengetahui asal suara itu. Ternyata benar suara itu berasal dari orang yang sangat ku kenal.
“Ratna?!” ujarku dengan nada tersendat, karena masih belum percaya melihatnya. Ku datangi, kudekati dia, dan ku peluk dia. Dengan perasaan yang sulit diungkapkan aku bertanya: “Kenapa kau ke sini?”
“Aku tahu kau pasti di sini.” Jawab ratna pelan karena terharu.
“Dari mana kau tahu? Sedagkan aku tidak memberitahumu”
“Aku mendengar jeritan hati merindukan aku. Aku mengikuti suara itu dan ternyata berhenti di sini.”
Aku tak bisa berkata apa-apa, aku terharu dan hanya bisa mengatakan: “Aku mencintaimu Ratna.”
Lalu ku ajak atna duduk di atas bebatuan pantai. Kami duduk berdampingan dan memandang langit yang semakin menuning. Tiupan angin terusmenghibur kami bagai musik penuh kenangan.
“Sam, aku tersiksa sikap ayah dan hatiku sendiri. Ayah terus menyiksaku dengan makian-makian serta tudingan buruk terhadapmu. Sedangkan hatiku terus menyiksa dengan tusukan-tusukan rindu padamu. Kau tahu, ayah sangat tidak setuju dengan hubungan kita hanya karena persoalan kecil. Karena keluarrgamu tidak satu pilihan dengan ayahku pada pemilu tahun ini.”
“Sudah lah, Rat! Jangan memikirkan masalah itu! Yang penting aku dan kamu saling mencintai. Kau kan pernah bilang akan mencintaiku sampai kapanpun.”
“Tapi, Sam. Aku inin kita tidak seperti ini lagi. Kita tak harus bersembunyi lagi jika ingin bertemu. Bagai mana caranya, Sam?”
“Meski aku tidak tahu kita harus bagai mana untuk bsa seperti itu. Tapi aku harap kita bisa menjalani hubunan ini dengan penuh kebahagiaan. Kita jalani saja hubungan kita seperti ini, asalkan kita bisa terus bahagia.”
“Sampai kapan, Sam?”
“Sampai kedua orang tua kita bisa saling mengerti dan merestui hubungan kita. Suatu saat nanti itu pasti terjadi.”
“Aku percaya padamu, Sam. Mudah-mudahan mereka bisa saling mengerti dan merestui hubungan kita.” Ucap ratna, lalu ia sandarkan kepalanya ke pundakku.
Hari pun semakin redup, langit semakin menguning menghiasi matahari yan mulai terbenam. Tapi kami masih di sini, enggan beranjak. Seakan tak ingin melepaskan hari ini.
“Ratna, sedang apa kau di sini?!”
Terdengar suara membentak dari arah belakang. Ratna menengok kebelakang. Betapa kagetnya ratna, ternyata suara itu suara ayahnya. Pak wira datang bersama anak buahnya. Karena ketakutan, ratna bergeser menjauhi aku.
“Sam, ayahku datang.” Ucap ratna ketakutan.
“Tenang, Rat! Aku di sampingmu.” Aku mencoba menenangkan ratna.
Pak wira lalu mendekati ratna dan menarik tangan ratna keras sambil membentak: “Cepat pulang! Kamu membuat malu keluarga saja.” Aku memegang tangan ratna erat, mencoba menahannya. Tapi pak wira menepis tanganku. Aku tidak melepaskannya walau pak wira terus menepis tanganku. Akhirnya dia melontarkan ancaman padaku: “Hey Samsul, kamu jangan pernah mendekati anakku, anakku tak pantas berhubungan denganmu.”
Lalu anak buah pak wira memegangiku, melepaskan tanganku dari ratna. Ratnapun terlepas dari genggamanku. Aku ditarik oleh mereka. Tiba-tiba ada kepalan-kepalan tangan menghantam wajahku, terus berulang hinggan terakhir yan kurasa ada hantaman benda keras seperti batu mengenai kepalaku. Saat itu aku langsung tak sadarkan diri aku hanya mendengar suara tanisan ratna memanggil namaku.sampai suara itu pun hilang bersama kesadaranku.
“Sam...!”
“Samsul...!”
“Samsul...!”
“Samsul...!”
“........”

Tidak ada komentar: